Opini  

Dinamika Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2023 Dan Proyeksi Tantangan 2024

Ronald S.G.S. Sipayung

Oleh: Ronald S.G.S. Sipayung

( Pegawai pada Kedeputian Bidang Perekonomian, Sekretariat Kabinet )

I.Pendahuluan

Tahun 2023 menjadi tahun yang penuh tantangan bagi perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi melambat menjadi 5,05 persen, sedikit lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 5,31 persen. Namun, di tengah badai ekonomi global dan inflasi yang tinggi, Indonesia masih menunjukkan ketangguhan. Kapal ekonomi Indonesia terus melaju, meski diterpa gelombang ketidakpastian. Artikel ini akan menjelajahi panggung ekonomi di kuartal keempat tahun 2023, menggali ke dalam proyeksi pertumbuhan ekonomi yang akan mengawali kuartal pertama 2024, meretas rintangan ekonomi global yang menghadang di tahun 2024, dan menanggapi tantangan-tantangan spesifik yang melibatkan Indonesia dalam panggung yang sama.

II. Realisasi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Kuartal IV-2023

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV-2023 mencapai 5,04 persen (year on year/yoy), sedikit melebihi proyeksi pemerintah sebesar 5 persen. Penyumbang utama pertumbuhan ini adalah peningkatan konsumsi rumah tangga dan investasi. Konsumsi rumah tangga, yang merupakan komponen terbesar dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia, tumbuh 4,82 persen di 2023. Kenaikan upah minimum dan bantuan sosial pemerintah menjadi faktor pendorong utama peningkatan konsumsi rumah tangga. Di tengah tantangan ekonomi global dan inflasi yang tinggi, peningkatan konsumsi rumah tangga menunjukkan bahwa daya beli masyarakat Indonesia masih terjaga.

Sementara itu, investasi tumbuh 4,40 persen, didukung oleh realisasi program pembangunan infrastruktur. Meskipun pertumbuhan investasi melambat dibandingkan tahun sebelumnya, hal ini tetap menunjukkan kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia. Stabilitas politik dan ekonomi, serta potensi pasar yang besar, menjadi daya tarik bagi investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Belanja pemerintah turun menjadi 2,95 persen di 2023 yang disebabkan upaya pemerintah untuk mengurangi defisit anggaran. Meskipun demikian, belanja pemerintah masih memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi melalui program-program pembangunan infrastruktur dan bantuan sosial pemerintah yang terus berlanjut.

Ekspor dan impor juga mengalami peningkatan. Kenaikan ekspor didorong oleh permintaan global yang relatif masih kuat terhadap komoditas andalan Indonesia, seperti batu bara, minyak kelapa sawit, dan karet. Sementara itu, peningkatan impor didorong oleh kebutuhan bahan baku dan barang modal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih mampu bersaing di pasar global.

Secara kumulatif sepanjang 2023, realisasi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,05 persen, melambat dibandingkan pertumbuhan 5,31 persen pada 2022. Hal ini sejalan dengan perkiraan akibat perlambatan ekonomi global dan aktivitas domestik yang terdampak inflasi tinggi.

Beberapa faktor utama yang menyebabkan perlambatan ekonomi di kuartal IV atau Q4 2023 antara lain dapat dilihat dari sisi neraca permintaan agregat: 1) Melambatnya konsumsi rumah tangga menjadi 4,5 persen (yoy) pada Q4 2023 dibanding Q3 2023 sebesar 5,1 persen (yoy), terutama disebabkan melemahnya (tertundanya) daya beli kelas menengah ke atas, serta relatif terbatasnya kenaikan konsumsi segmen berpenghasilan rendah di tengah kenaikan belanja sosial dan politik menjelang pemilihan umum (pemilu); 2) Perlambatan investasi menjadi 5,0 persen (yoy) pada Q4 2023, dibandingkan 5,8 persen pada Q3 2023. Investasi mesin dan peralatan serta kendaraan bermotor mengalami perlambatan seiring melemahnya ekspor dan investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI), sementara investasi bangunan dan infrastruktur relatif bertahan didukung belanja modal pemerintah; dan 3) Melambatnya kinerja ekspor-impor. Kontribusi net ekspor terhadap pertumbuhan PDB menurun menjadi 0,4 percentage point (ppt) pada Q4 2023 dari 0,5 ppt pada Q3 2023. Hal ini mencerminkan peningkatan impor lebih tinggi ketimbang ekspor seiring perlambatan ekonomi global dan harga komoditas yang melemah.

Ditinjau dari sisi lapangan usaha, beberapa sektor ekonomi utama mencatat perlambatan pertumbuhan pada 2023, di antaranya: 1) Sektor makanan dan minuman (food and beverage/F&B). Penurunan konsumsi rumah tangga pada Q4 dipimpin oleh pengeluaran untuk F&B, kesehatan, dan pendidikan. Pertumbuhan sektor F&B melambat menjadi 7,9 persen (yoy) di Q4 2023 dari 10,9 persen (yoy) di Q3 2023; dan 2) Sektor industri pengolahan tumbuh melambat menjadi 4,1 persen (yoy) di Q4 2023 dari 5,2 persen (yoy) di Q3 2023 yang disebabkan melemahnya permintaan global untuk produk ekspor industri. Di sisi lain, sektor konstruksi menjadi penyokong utama pertumbuhan dengan pertumbuhan 7,7 persen (yoy) di Q4 2023, diikuti sektor pertambangan 7,5 persen (yoy), serta listrik dan gas 8,7 persen (yoy). Ketiga sektor tersebut memberikan kontribusi pertumbuhan masing-masing sebesar 0,47 persen, 0,45 persen, dan 0,05 persen di sepanjang 2023.

Secara kumulatif sepanjang 2023, dari sisi sektoral, sektor transportasi dan penyimpanan mencatat pertumbuhan tertinggi 13,96 persen, didukung kenaikan volume penumpang pesawat domestik dan internasional serta perkembangan moda transportasi kereta api seperti Lintas Raya Terpadu (LRT) Jakarta-Bogor-Depok-Bekasi (Jabodebek) dan kereta cepat Jakarta-Bandung. Dua sektor lain yang tumbuh paling tinggi adalah sektor akomodasi dan restoran yang tumbuh 10,01 persen dan jasa lainnya yang tumbuh 10,52 persen.

III. Fenomena Disinflasi Global
Cerita utama dari pertumbuhan ekonomi tahun 2023 adalah kesenjangan antara PDB riil dan nominal. Pertumbuhan PDB riil Indonesia tercatat sebesar 5,05 persen (yoy), didukung oleh pertumbuhan 5,04 persen pada Q4 2023. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi secara nominal jauh lebih tinggi, yaitu sebesar 6,66 persen (yoy) secara keseluruhan tahun 2023 dan hanya 3,67 persen pada Q4 2023. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan antara pertumbuhan PDB riil dan nominal di 2023 dan mengindikasikan terjadinya fenomena deflasi/disinflasi dalam perekonomian Indonesia. Deflasi terjadi ketika harga-harga secara umum mengalami penurunan dari waktu ke waktu.

Deflasi atau disinflasi global telah berlangsung sejak Q2 2023. Situasi ini terutama disebabkan oleh dua faktor eksternal: 1) Penurunan harga komoditas. Harga berbagai komoditas global mengalami penurunan tajam. Misalnya harga litium yang anjlok meski Tiongkok melakukan investasi dan produksi baterai dalam jumlah besar. Hal ini menunjukkan tingkat kelebihan pasokan yang sangat besar. Indonesia memang bukan produsen litium, tetapi gambaran suram ini berlaku juga untuk komoditas ekspor Indonesia seperti batu bara dan nikel ke Tiongkok; 2) Kelebihan kapasitas industri Tiongkok. Sebagai mitra dagang terbesar Indonesia, Tiongkok saat ini tengah dilanda kelebihan kapasitas produksi di sektor industri, dan situasi ini telah memicu deflasi harga barang-barang industri dan tekanan berat pada mitra dagangnya, termasuk Indonesia.

Dampak deflasi telah dirasakan secara luas. Deflator PDB sebagian besar sektor ekonomi Indonesia hanya 1-2 persen di 2023, jauh di bawah angka inflasi. Satu-satunya yang mengalami inflasi adalah sektor pertanian akibat El Nino. Seluruh sektor bisnis Indonesia diperkirakan akan terus melaporkan penurunan pendapatan dan keuntungan bersih di Q4 2023.

Disinflasi global berisiko menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dampaknya dapat signifikan meskipun Indonesia memiliki beban utang publik dan swasta yang jauh lebih ringan dibanding negara maju. Disinflasi bisa memicu efek “money illusion” terbalik di mana berkurangnya pendapatan ekspor komoditas membuat pelaku ekonomi enggan meningkatkan konsumsi dan investasi yang berpotensi menjadikan kelesuan ekonomi sebagai ramalan yang menjadi kenyataan.

Kesenjangan (gap) antara pertumbuhan PDB riil dan nominal Indonesia pada tahun 2023 dapat berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Pertama, produsen menghadapi penurunan margin keuntungan karena harga jual produk turun secara riil, sementara biaya input relatif tetap. Hal ini dapat menghambat ekspansi usaha dan investasi karena tingkat pengembalian investasi (return on investment) yang lebih rendah. Kedua, perlambatan laju pertumbuhan ekonomi riil akibat lesunya permintaan domestik maupun daya saing ekspor juga dapat terjadi. Bahkan, kesenjangan yang berkepanjangan berpotensi memicu fenomena stagnasi semu (secular stagnation), di mana pertumbuhan ekonomi melambat dalam jangka panjang. Ketiga, pemerintah juga akan kesulitan untuk memenuhi target penerimaan pajak dan menggenjot belanja negara. Oleh karena itu, kesenjangan antara pertumbuhan PDB riil dan nominal perlu diatasi agar roda perekonomian tetap berputar dengan baik.

Pemerintah telah memiliki beberapa opsi kebijakan konkret untuk menanggulangi fenomena disinflasi dan dampaknya terhadap perekonomian. Pertama, dapat dilakukan ekspansi fiskal melalui peningkatan belanja negara, stimulus pajak, dan transfer tunai langsung ke masyarakat. Langkah ini diharapkan dapat mendorong permintaan agregat dan mengerek tingkat inflasi. Kedua, Bank Indonesia dapat menurunkan suku bunga acuan serta menerapkan kebijakan makroprudensial yang lebih longgar untuk meningkatkan likuiditas di sistem perbankan. Likuiditas yang cukup dapat merangsang ekspansi kredit dan pengeluaran, memberikan dorongan terhadap tingkat inflasi. Pemberian insentif pajak dan kemudahan investasi dapat mendorong ekspansi sektor industri dalam negeri, meningkatkan kapasitas produksi, dan menyebabkan inflasi dari sisi biaya (cost push inflation). Selain itu, untuk mendukung inflasi dari sisi permintaan, pemerintah dapat mendorong peningkatan upah minimum provinsi secara terukur. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan daya beli masyarakat, mendukung kenaikan konsumsi, dan mendorong inflasi melalui demand pull inflation.

IV. Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia di Q1 2024

Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Q1 2024 tetap optimistis. Lembaga riset Danareksa Sekuritas memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh sebesar 5,16 persen (yoy) pada Q1 2024, meningkat dari pertumbuhan 5,04 persen (yoy) pada Q4 2023 dengan didorong peningkatan konsumsi rumah tangga dan belanja pemerintah. Konsumsi rumah tangga diperkirakan akan tumbuh sebesar 5,02 persen (yoy) pada Q1 2024, lebih tinggi dari pertumbuhan 4,47 persen (yoy) pada Q4 2023 karena didorong oleh meningkatnya daya beli masyarakat akibat kenaikan upah minimum dan bantuan sosial dari pemerintah.

Belanja pemerintah juga diperkirakan akan meningkat pada Q1 2024, seiring dengan persiapan pemilihan umum (pemilu) yang akan digelar pada Februari 2024. Hal ini akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi. Investasi diperkirakan akan tumbuh sebesar 4,10 persen (yoy) pada Q1 2024, lebih rendah dari pertumbuhan 5,02 persen (yoy) pada Q4 2023 yang disebabkan oleh faktor ketidakpastian menjelang pemilu.

Ekspor diperkirakan akan tumbuh terbatas sebesar 1,70 persen (yoy) pada Q1 2024, lebih tinggi dari pertumbuhan 1,64 persen (yoy) pada Q4 2023 yang disebabkan oleh permintaan yang diperkirakan masih positif dari Tiongkok dan negara-negara berkembang lainnya. Impor diperkirakan akan semakin terkontraksi sebesar  minus 0,92 persen (yoy) pada Q1 2024, dibandingkan pertumbuhan minus 0,15 persen (yoy) pada Q4 2023 yang disebabkan pelemahan rupiah terhadap dolar AS.

V. Prospek dan Tantangan Ekonomi Global di 2024
Tahun 2024 akan diwarnai oleh tantangan global yang signifikan. Proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) menyebutkan pertumbuhan ekonomi global akan melambat menjadi 2,9 persen, dipicu oleh perang di Ukraina, inflasi tinggi, dan kenaikan suku bunga. IMF memperkirakan inflasi global akan mencapai 6,5 persen pada tahun 2023, turun dari 8,8 persen pada tahun 2022. Namun, inflasi masih diperkirakan akan tetap tinggi pada tahun 2024, sebesar 4,1 persen. Selain itu, IMF memperkirakan suku bunga kebijakan global akan mencapai 5,2 persen pada tahun 2024, naik dari 3,5 persen pada tahun 2022. Di sisi lain, menurut laporan Prospek Ekonomi Global (GEP) yang diterbitkan oleh Bank Dunia pada Januari 2024, ekonomi global diperkirakan akan mengalami perlambatan pertumbuhan dari 2,6 persen pada tahun 2023 menjadi 2,4 persen pada tahun 2024 yang merupakan perlambatan ketiga kalinya secara berturut-turut.

Pada tahun 2024, pertumbuhan Amerika Serikat (AS) diperkirakan melambat menjadi 1,6 persen (yoy). Pertumbuhan konsumsi diperkirakan melemah pada tahun 2024 karena nilai tabungan masyarakat akan mulai berkurang seiring dengan pelonggaran pasar tenaga kerja, di tengah efek pengetatan moneter yang terus berlanjut sejak awal tahun 2022. Kebijakan fiskal diperkirakan lebih restriktif, sehingga mengurangi dukungan terhadap konsumsi. Untuk Zona Eropa, diperkirakan akan sedikit meningkat menjadi 0,7 persen (yoy) di 2024 karena tekanan inflasi yang mereda akan meningkatkan upah riil (pendapatan) yang dapat dibelanjakan. Namun, konsumsi kemungkinan masih tertahan karena efek pengetatan moneter yang tertinggal. Secara keseluruhan, negara-negara maju diperkirakan tumbuh sebesar 1,5 persen yoy di 2023, dan pada 2024 diperkirakan sedikit melambat menjadi 1,2 persen (yoy).

Dari Asia, pada tahun 2024, perekonomian Tiongkok diperkirakan melambat menjadi 4,5 persen (yoy) (direvisi turun sebesar 0,1 ppt dari perkiraan sebelumnya). Investasi masih tertahan di tengah tekanan yang terus-menerus di sektor properti, sementara sentimen yang melemah dapat membebani konsumsi. Hal ini dapat berdampak pada perdagangan global yang tetap lemah pada tahun 2024, dan membebani ekspor serta pertumbuhan permintaan domestik yang lebih lambat menahan impor.

VI. Prospek dan Tantangan Ekonomi Indonesia di 2024

Selain tantangan global, Indonesia menghadapi tantangan domestik khusus pada tahun 2024, di antaranya: 1) Pemilu presiden dan legislatif yang akan digelar pada tahun 2024 dapat menimbulkan ketidakpastian politik dan ekonomi yang selanjutnya dapat memengaruhi keputusan investasi dan belanja konsumen; 2) Kenaikan harga pangan dan energi global dapat menyebabkan inflasi di Indonesia meningkat dan menurunkan daya beli masyarakat serta memperlambat pertumbuhan ekonomi; 3) Defisit anggaran pemerintah diperkirakan akan meningkat pada tahun 2024 yang disebabkan meningkatnya belanja pemerintah untuk persiapan pemilu dan pembangunan infrastruktur sehingga dapat meningkatkan beban utang negara; 4) Rupiah diperkirakan berpotensi melemah terhadap dolar AS pada tahun 2024 sehingga dapat menyebabkan harga barang-barang impor menjadi lebih mahal dan meningkatkan biaya produksi bagi perusahaan.

Untuk menghadapi tantangan ekonomi tersebut, pemerintah telah dan akan terus mengambil langkah-langkah kebijakan seperti: 1) Menjaga stabilitas ekonomi dengan menjaga inflasi tetap rendah dan menjaga nilai tukar rupiah tetap stabil; 2) Mendorong pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan investasi dan mendorong ekspor; 3) Melindungi masyarakat miskin dan rentan dari dampak perlambatan ekonomi global dengan memberikan bantuan sosial dan subsidi; dan 4) Melakukan reformasi struktural untuk meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia, yang meliputi penyederhanaan regulasi, peningkatan kualitas infrastruktur, dan peningkatan kualitas pendidikan dan keterampilan tenaga kerja.

Dana Moneter Internasional atau IMF memperkirakan perekonomian Indonesia akan tumbuh sebesar 5,0 persen pada tahun 2024, sementara proyeksi World Bank sedikit lebih rendah sebesar 4,9 persen. Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan didukung oleh konsumsi domestik yang kuat dan belanja pemerintah. Konsumsi privat diperkirakan akan tumbuh sebesar 5,10 persen pada tahun 2024, didukung oleh peningkatan pendapatan rumah tangga dan kredit konsumsi (Danareksa Sekuritas). Peningkatan pendapatan rumah tangga didorong oleh kenaikan upah minimum dan bantuan sosial dari pemerintah sedangkan peningkatan kredit konsumsi didorong oleh suku bunga yang rendah dan kemudahan akses kredit. Belanja pemerintah diperkirakan akan meningkat sebesar 6,62 persen pada tahun 2024, didorong oleh persiapan pemilihan umum dan peningkatan belanja infrastruktur. Peningkatan belanja pemerintah akan mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan permintaan barang dan jasa.

Inflasi merupakan tantangan lain bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Inflasi diperkirakan akan mencapai 3,19 persen pada tahun 2024 (Mandiri OCE), lebih tinggi dari target Bank Indonesia sebesar 3 persen. Inflasi yang tinggi akan mengurangi daya beli masyarakat dan menurunkan konsumsi domestik. Sementara itu, kenaikan suku bunga juga menjadi tantangan yang tidak bisa diabaikan. Bank Indonesia diperkirakan akan menaikkan suku bunga kebijakannya pada tahun 2024 untuk mengatasi inflasi yang selanjutnya dapat berimplikasi  pada kenaikan biaya pinjaman dan penurunan investasi.

VII. Kesimpulan dan Penutup
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2023 mengalami sedikit perlambatan menjadi 5,05 persen, tetapi tetap menunjukkan ketahanan yang signifikan dalam konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor. Meskipun dihadapkan pada tantangan seperti inflasi yang tinggi dan perlambatan ekonomi global, kestabilan politik dan ekonomi, didukung oleh kebijakan pemerintah yang proaktif, berkontribusi pada ketahanan yang terjaga dalam menghadapi terpaan eksternal dan internal.

Proses perkembangan ekonomi Indonesia juga terus berlanjut, mencerminkan keseimbangan dalam ketidakpastian yang inheren dalam konteks panggung ekonomi global. Sementara tantangan global seperti perang di Ukraina dan kenaikan suku bunga tetap di depan, langkah-langkah kebijakan yang bijak dan kehati-hatian di tingkat domestik akan dapat memitigasi dampaknya. Dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi sekitar 5,0 persen pada tahun 2024, Indonesia perlu menjaga momentum positif melalui stabilitas, pertumbuhan berkelanjutan, perlindungan terhadap masyarakat rentan, dan percepatan reformasi struktural. Meskipun tantangan tetap ada, perekonomian Indonesia siap menghadapi dinamika global dengan langkah-langkah yang tepat dan terukur.

Dengan strategi yang tepat guna serta kebijakan tangguh dan lincah, perekonomian Indonesia diharapkan mampu mengarungi badai tantangan global dan domestik di 2024, serta menjaga laju pertumbuhan ekonomi tetap kokoh berakar pada stabilitas, kualitas, dan keberlanjutan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *