DALAM sebuah acara seminar di Bali sekitar empat tahun lalu, saya dibuat terkejut oleh sebuah aplikasi yang digunakan salah seorang wartawan. Begitu usai si pembicara menyampaikan pemaparannya, isi pidatonya itu sudah beredar dalam bentuk tulisan di Whatsapp grup jurnalis peliput acara tersebut.Sebagai wartawan zaman old, saya mungkin termasuk missing out, orang yang ketinggalan zaman. Terus terang, saat itu saya baru tahu ada aplikasi yang dapat mengubah suara menjadi teks. Saya pikir canggih juga dan memudahkan kerja wartawan, tidak perlu repot-repot transkrip isi rekaman dari tape recorder atau handphone.Namun, pertanyaan kritis saya muncul. Apa si wartawan tadi betul-betul menyimak isi pembicaraan dalam seminar. Saya sendiri masih mencatat poin-poin yang dibicarakan. Jangan-jangan dia sekadar merekam sambil sibuk ngobrol dengan teman-temannya atau berselancar di dunia maya. Saya jadi teringat cerita seorang rekan editor yang beberapa waktu lalu mengeluh mengenai berita yang ditulis salah seorang reporternya. “Dia bahkan enggak paham apa yang ditulisnya,” keluh kawan saya.Saya pun jadi bertanya-tanya, jangan-jangan si reporter itu juga bagian dari budak teknologi aplikasi yang katanya canggih dan pintar itu. Semoga saja dugaan saya keliru.Kehadiran teknologi, yang kini dilengkapi kecerdasan buatan, memang membantu kerja-kerja manusia. Berbagai aplikasi diciptakan. Dari mesin penerjemah bahasa, pengubah suara menjadi teks, memodifikasi wajah dan suara, hingga chatbot, yang dapat membalas pesan secara otomatis yang kini banyak digunakan sejumlah perusahaan untuk menjawab keluhan pelanggan.Bahkan, Chat-GPT, salah satu chatbot tercanggih dan teranyar yang kini ramai diperbincangkan, dapat diperintahkan menulis apa pun, dari caption sederhana hingga membuat esai. Kehadiran aplikasi itulah, yang kini digembar-gemborkan dan dikhawatirkan bakal meminggirkan peran sejumlah profesi, seperti guru, dosen, jurnalis, dan penulis.Dalam seabad terakhir, kita memang telah menyaksikan transformasi radikal dalam seluruh lingkup hidup manusia, yang sebagian besarnya akibat penemuan teknologi. Lihat saja bagaimana tombol sederhana like, share, dan comment, yang disematkan dalam sejumlah aplikasi media sosial, telah mengubah perilaku dan tabiat masyarakat akhir-akhir ini. Terlihat simpel, tetapi fungsi serta dampaknya dahsyat dan meluas ke mana-mana.Belum pernah semenjak era revolusi industri, kita menyaksikan perubahan radikal secepat dan seluas ini. Dari lingkup sosial, budaya, ekonomi, maupun politik. Seluruh perubahan itu pada gilirannya menghasilkan perubahan- perubahan pada kepribadian manusia, termasuk mungkin juga volume otak yang menyusut atau badan yang kian tambun lantaran dimanja teknologi.Jika proses itu berlangsung terus-menerus tanpa kesadaran kritis, kita tidak bisa membayangkan bagaimana dengan inovasi teknologi lain yang mungkin lebih canggih di masa depan.Saya bukan orang yang antiteknologi. Toh, tulisan ini pun saya buat dengan menggunakan gawai. Satu hal yang ingin saya tekankan di sini ialah secanggih apa pun teknologi, ia tidak akan mampu meminggirkan peran manusia, selama manusia itu memiliki kesadaran kritis tentang fungsi dan keberadaannya sebagai mahkluk berakal.Teknologi hanyalah tools. Kitalah yang mesti mengendalikannya.Di era teknologi digital yang menuntut serbacepat ini, sekali-kali kita kiranya memang perlu menepi, tetirah dan merenung sejenak, agar tidak tergilas oleh kemajuan zaman. Wasalam.
Sumber: https://m.mediaindonesia.com/opini/561092/mitos-teknologi